Penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogen. Kesenian Betawi
lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di
Betawi. Seni musik Betawi tidak terhindar dari proses perpaduan itu.
Dalam musik Betawi terdapat pengaruh Eropah, Tionghoa, Arab, Melayu,
Sunda, dan lain-lain.
1.Gambang Kromong
Nama gambang kromong
diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Ia juga
merupakan paduan yang serasi antara unsur pribumi dan Cina. Unsur Cina
tampak pada instrumen seperti tehyan, kongahyan, dan sukong, sementara
unsur pribumi berupa kehadiran instrumen seperti gendang, kempul, gong,
gong enam, kecrek, dan ningnong. Memang, pada mulanya gambang kromong
adalah ekspresi kesenian mayarakat Cina peranakan saja. Sampai awal abad
ke-19 lagu-lagu gambang kromong masih dinyanyikan dalam bahasa Cina.
Baru pada dasawarsa pertama abad ke-20, retepertoar lagu gambang kromong
diciptakan dalam bahasa Betawi. Belakangan dalam setiap pergelarannya
gambang kromong selalu membawakan lagu-lagu dari khazanah Cina dan
Betawi. Seperti lagu-lagu instrumental (phobin) berjudul Ma Tsu Thay,
Kong Jie Lok, Phe Pan Tauw, Ban Kie Hwa, Phe Boo Tan, Ban Liauw, dan
“lagu sayur” berjudul, antara lain, Cente Manis, Kramat Karem, Sirih
Kuning, Glatik Nguknguk, Surilang, Lenggang Kangkung, Kudehel, Stambul
Jampang, dan Jali-Jali Kembang Siantan.
Gambang kromong sangat
terbuka menerima kemungkinan pengembangan. Itulah sebabnya dikenal
gambang kromong kombinasi. Gambang kromong kombinasi disebut juga
gambang kromong modern. Dikatakan kombinasi karena susunan alat musik
asli ditambah atau dikombinasikan dengan lata musik Barat, seperti:
gitar, gitar melodi, bass, organ, saksofon, drum, dan sebagainya.
Gambang kromong kombinasi dapat memenuhi semua keinginan penonton. Dapat
dibawakan jenis lagu dangdut, kroncong, pop, bahkan gambus.
Seniman
musik pop pun bisa mempopulerkan lagu-lagu gambang kromong, seperti
Benyamin S., Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain-lain.
Sementara tokoh gambang kromong yang pernah dan masih dikenal sampai
saat ini adalah Liem Lian Pho (pemimpin rombongan “Selendang Delima”),
Suryahanda (pemimpin rombongan “Naga Mustika”), Samen, Acep, Marta
(pemimpin rombongan “Putra Cijantung”, sebelumnya dipimpin oleh Nya’at),
Amsar (pemimpin rombongan “Setia Hati” dari Bendungan Jago), Samad Modo
(pemimpin rombongan “Garuda Putih”), L. Yu Hap, Tan Kui Hap, dan Jali
Jalut.
2.Gambang Rancag
Gambang rancag bisa disebut
sebagai pertunjukan musik sekaligus teater, bahkan sastra. Ia terdiri
dari dua unsur, yaitu gambang dan rancag. Gambang berarti musik
pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam bentuk
pantun berkait. Umumnya membawakan lakon-lakon jagoan, seperti Si
Pitung, Si Jampang, dan Si Angkri. Pantun berkait ini dinyanyikan oleh
dua orang bergantian. Sama dengan berbalas pantun.
Pergelaran
gambang rancag selalu terbagi atas tiga bagian. Bagian pembukaan yang
diisi dengan lagu-lagu phobin yang berfungsi mengumpulkan penonton.
Bagian kedua diisi dengan menampilkan lagu-lagu hiburan atau “lagu
sayur”. Bagian ini berfungsi sebagai selingan sebelum ngerancag dimulai.
Kedua jenis lagu ini sama dengan yang dinyanyikan dalam gambang
kromong. Bagian ketiga rancag. Lagu-lagu yang dibawakan dalam merancag
adalah Dendang Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi, phobin Jago, Phobin
Tintin, dan Phobin Tukang Sado.
Setiap pemain rancag bukan hanya
harus mampu bernyanyi, tetapi juga dapat menyusun pantun dan hafal jalan
cerita yang akan dibawakan. Dia harus hafal lakon-lakon yang dimainkan.
Misalnya dua bait Rancag Si Pitung
Ambil simping asalnya kerang
Pasang pelita terang digantung
Pasang kuping nyatalah biar terang
Di gambang rancag buka rancag jago Bang Pitung
Pasang pelita terang digantung
Pisang kepok yang mude-mude
Buka rancag jago Bang Pitung
Segalenye Pitung ngerampog di wetan bagian Marunde
3. Gamelan Ajeng
Gamelan Ajeng merupakan musik
folklorik Betawi yang mendapat pengaruh dari musik Sunda. Beberapa
daerah di Pasundan terdapat pula gamelan ajeng. Seperti di Kecamatan
Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Meskipun begitu perkembangan kemudian
membedakan gamelan ajeng di Betawi dan gamelan serupa di Pasundan.
Gamelan ajeng Gandaria pimpinan Radi Suardi misalnya memainkan lagu-lagu
seperti Carabali, Timblang, Gagambangan, Matraman, Banjaran, Jiro,
lagu-lagu yang tidak ada di gamelan ajeng di Pasundan. Sementara
lagu-lagu yang terdapat dalam gamelan Ajeng Sumedang adalah Papalayon,
Engko, Titipati, Bayeman, Papalayon Buyut, dan Bondol Hejo.
Alat
musik gamelan ajeng terdiri dari kromong sepuluh pencin, terompet,
gendang (dua gendang besar, dua kulanter), dua saron, bende, cemes
(semacam cecempres), kecrek. Kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua
gong: gong laki dan gong perempuan.
Gamelan ajeng biasa
digunakan untuk memeriahkan hajatan, seperti khitanan atau perkawinan.
Pada mulanya tidak biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tapi pada
perkembangannya kemudian digunakan pula sebagai pengiring tarian yang
disebut “Belenggo Ajeng”. Belakangan ini, sesuai denga perkembangan
zaman dan untuk memuaskan penontonnya, gamelan ajeng juga memainkan
lagu-lagu Sunda pop. Bahkan ada pula yang digunakan untuk mengiringi
tari Jaipong.
Di samping di Gandaria, gamelan ajeng juga
berkembang di pinggiran Jakarta lainnya, seperti di Kelapa Dua Wetan
dipimpin oleh Oking alias Peking, di Cireundeu dipimpin oleh Neran, di
Pakopen Tambun dipimpin Sarah, dan di Karanggan Pondok Gede dipimpin
oleh Saad.
* Gamelan Topeng
Gamelan Topeng adalah
seperangkat gamelan untuk mengiringi topeng Betawi, sebagaimana gambang
kromong untuk mengiringi pertunjukan lenong. Gamelan topeng merupakan
penyederhanaan dari gamelan lengkap. Terdiri dari rebab, sepasang
gendang (gendang besar dan kulanter), ancang kenong berpencong tiga,
kecrek, kempul yang digantung dan sebuah gong tahang atau gong angkong.
Kenong berpencong tiga di sini ditabuh oleh dua panjak. Yang pertama
menabuh pencon kenong (“ngenong”), yang satu lagi menabuh kenceng atau
pinggiran kenong (“ngenceng”). Lantaran penyederhanaan ini gamelan
topeng bisa dibawa berkeliling untuk “ngamen” dari kampung ke kampung.
Terutama pada saat perayaan tahun baru, baik Masehi maupun Imlek,
sebagaimana dilakukan rombongan almarhum Haji Bokir pada era 1950-an.
Pemukulan
kempul memegang peranan penting dalam pertunjukan topeng sebab ia
menandakan pertunjukan akan segera dimulai. Setelah itu dilanjutkan
dengan gesekan rebab tunggal (“arang-arangan”). Panjangnya tergantung
kesempatan, tetapi ia juga berfungsi untuk mengumpulkan panjak yang
belum siap di tempat. Setelah arang-arangan dilanjutkan dengan “talu”
atau “tetalu” yang ditabuh lebih keras dari sebelumnya dan berfungsi
untuk mengumpulkan penonton. Setelah itu barulah pertunjukan pendahuluan
atau pralakon bermula, yakni pertunjukan tari-tarian. Pralakon
berlangsung melalui “Lipetgandes” yang dilakukan oleh seorang bodor dan
ronggeng topeng (penari topeng). Setelah selesai, bermulalah pertunjukan
inti. Dalam pergelaran lakon, panjang atau pendek, gamelan berfungsi
sebagai tanda pergantian babak, untuk memberikan aksentuasi gerakan dan
jalan cerita.
Ada dua repertoar yang biasa dibawakan gamelan
topeng. Pertama lagu-lagu “dalem” seperti Kang Aji, Gendol Ijo,
Glenderani, dan sebagainya. Kedua, lagu-lagu “luar”, yaitu lagu-lagu
yang biasa diperdengarkan berdasarkan permintaan penonton. Antara lain,
Geseh dan Bongbang.
4. Keroncong Tugu
Keroncong
Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan
Portugis (mestizo) telah memainkan musik ini sejak 1661. Pengaruh
Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya. Misalnya moresko,
frounga, kafrinyo, dan nina bobo. Keroncong Tugu tidak jauh beda dengan
keroncong pada umumnya. Tapi juga bukan sama persis. Keroncong Tugu
berirama lebih cepat. Irama yang lebih cepat ini disebabkan oleh suara
ukulele yang memainkannya digaruk seluruh senanrnya. Sementara keroncong
Solo atau Yogya berirama lebih lambat.
Kerontjong Toegoe pada
mulanya dimainkan oleh 3 atau 4 orang. Alat musiknya hanya 3 buah gitar,
yaitu: gitar Frounga yang berukuran besar dengan 4 dawai, gitar Monica
berukuran sedang dengan 3-4 dawai, dan gitar Jitera yang berukuran keci
dengan 5 dawai. Selanjutnya alat musik Keroncong Tugu ditambah dengan
suling, biola, rebana, mandolin, cello, kempul, dan triangle. Dulu
keroncong ini sering membawakan lagu berirama melankolis, diperluas
dengan irama pantun, irama stambul, irama Melayu, langgam keroncong, dan
langgam Jawa. Syair lagu-lagunya kebanyakan masih menggunakan bahasa
Portugis, yang cara pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi
Kampung Tugu.
Kerontjong Toegoe masih sering pentas pada berbagai
tempat dan kesempatan. Di atas pentas para pemainnya selalu
berpenampilan khas: yang laki-laki mengenakan baju koko putih, celana
batik, dan tutup kepala semacam baret. Mereka juga selalu memakai
semacam syal yang melingkari leher. Sementara yang perempuan memakai
kebaya. Tokoh keroncong Tugu saat ini adalah Samuel Quicko dan Fernando
yang memimpin “Moresko Toegoe” di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing,
Jakarta Utara. Mereka berdua dibantu oleh saudara-saudara mereka, Ester
dan Bernado. Sebelumnya ada orang tua mereka: Oma Kristin (Christine)
dan opa Eddy Wasch yang pernah memperoleh penghargaan Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin pada 1976.
5. Tanjidor
Musik tanjidor diduga berasal dari
bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 sampai ke-16. Ahli
musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya
dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya. Sejarawan
Belanda Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari
orkes budak pada masa kolonial. Alat musik yang mereka mainkan antara
lain: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur,
simbal, dan lain-lain. Mereka menghibur tuan mereka saat pesta dan
jamuan makan. Ketika perbudakan dihapuskan pada 1860, pemain musik
musik, mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik
yang dinamakan tanjidor.
Lagu-lagu yang dibawakan tanjidor antara
lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan
Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi.
Lagu-lagu tanjidor juga diperkaya dengan lagu-lagu gambang kromong.
Karena itu instrumennya bisa ditambah dengan tehyan, rebana, beduk,
gendang, kecrek, kempul, dan gong.
Pada era 1950-an orkes
tanjidor masih ngamen. Khususnya pada tahun baru Masehi dan Imlek.
Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke
rumah di kawasan elite, seperti Menteng, Salemba, dan Kebayoran Baru,
daerah-daerah yang banyak dihuni orang Belanda. Pada tahun baru Cina
biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan
sampai perayaan Cap Go Meh, yaitu pesta hari ke-15 Imlek.
Tanjidor
berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup,
Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di
daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik
orang Belanda, di mana budak-budak mereka memainkan musik tanjidor untuk
sang tuan. Adapun grup tanjidor yang kini menonjol adalah Putra
Mayangsari pimpinan Marta Nyaat di Cijantung Jakarta Timur dan Pusaka
pimpinan Said di Jagakarsa Jakarta Selatan.
6. Orkes Samrah
amrah telah berkembang di Jakarta
sejak abad ke-17. Asalnya dari Melayu. Hal itu dimungkinkan karena
salah satu suku yang menjadi cikal bakal orang Betawi adalah Melayu.
Samrah berasal dari kata bahasa Arab “samarokh” yang berarti berkumpul
atau pesta dan santai. Kata “samarokh” oleh orang Betawi diucapkan
menjadi “samrah” atau “sambrah”. Dalam kesenian Betawi, samrah menjadi
orkes samrah dan tonil samrah serta tari samrah.
Orkes Sambrah
adalah ansambel musik Betawi. Instrumen musiknya antara lain harmonium,
biola, gitas, string bas, tamburin, marakas, banyo, dan bas betot. Dalam
menyajikan sebuah lagu, unsur alat musik harmonium sangat dominan dan
kini sudah langka. Maka orkes samrah disebut pula sebagai orkes
harmonium. Orkes ini dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam berbagai
acara. Lagu-lagu pokoknya berbahasa Melayu seperti Burung Putih, Pulau
Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Pakpung Pak Mustape,
dan sebagainya. Di samping itu dimainkan juga lagu-lagu yang khas
Betawi, seperti Jali-jali, Kicir-kicir, dan Lenggang-lenggang Kangkung.
Kostum
yang dipakai pemain samrah ada dua macam: peci, jas, dan kain pelekat
atau baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi satu model
yang sebenarnya model lama, “jung serong” (ujungnya serong), yang
terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan
panetolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan di bawah
jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul ke bawah.
Daerah
penyebaran samrah terbatas di kawasan Betawi Tengah, seperti Tanah
Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar dan Petojo.
Masyarakat pendukungnya kebanyakan kelas menengah. Kini popularitasnya
makin surut, meski belakangan Lembaga Kebudayaan Betawi berupaya untuk
membangkitkannya. Terutama membantu kelompok samrah yang paling
representatif yang pernah dipimpin oleh almarhum Harun Rasyid.
6. Rebana
Rebana terbilang kesenian yang cukup
populer di Jakarta. Di daerah lain, terutama di Jawa, alat musik
bermembran ini disebut “terbang”. Sebutan rebana diduga berasal dari
kata Arab “robbana” (Tuhan kami). Sebutan ini muncul karena alat musik
ini biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam.
Lama-kelamaan alat musiknya disebut “rebana”, atau “robana”, sebagaimana
terjadi di daerah Ciganjur, Pondok Pinang dan sekitarnya. Hampir semua
jenis rebana Betawi terdapat di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Selebihnya di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kabupaten
Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang. Berdasarkan jenis
alat, sumber syairnya, wilayah penyebarannya dan latar belakang sosial
pendukungnya, rebana Betawi terdiri atas jenis-jenis berikut ini:
Rebana Biang
Di
daerah lain rebana jenis ini disebut juga dengan Rebana Gede, Rebana
Salun, Gembyung, dan Terbang Selamet. Disebut rebana biang karena salah
satu rebananya berbentuk besar. Meski bentuknya sama, rebana biang
terdiri dari empat jenis. Yang paling kecil berdiameter 20 cm biasa
disebut ketog; yang bergaris tengah 30 cm disebut gendung; yang sedang
bergaris tengah 60 cm dinamai kotek; yang paling besar bergaris tengah
60—80 cm dinamai biang. Karena bentuknya yang besar, rebana biang
dimainkan sambil duduk dengan cara menyanggahnya dengan telapak kaki dan
lutut.
Bila cara membawakan rebana jenis lain tampak khidmat dan
syair-syairnya yang berasal dari bahasa Arab diucapkan dengn tajwid dan
makhraj yang bagus, maka kata-kata Arab dalam orkes rebana biang
diucapkan dengan lidah atau dialek setempat. Lagu rebana biang ada dua
macam. Pertama, yang berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun,
seperti Rabbuna Salun, Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, dan Hadro
Zikir. Kedua, yang berirama lambat, disebut lagu rebana atau lagu
Melayu, antara lain Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila,
Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai
Kacang.
Kebanyakan kelompok rebana biang yang lebih dekat dengan
kota Jakarta, seperti rebana biang Ciganjur, lebih banyak memiliki
perbendaharaan laku-laku “dikir” berbahasa Arab atau lagu-lagu berlirik
bahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang
dipahami artinya. Sementara kelompok-kelompok rebana biang di daerah
pinggiran, seperti Pondok Rajeg, Cakung, Ciseeng dan Parung dalam
pergelaran ada juga yang menambahkan alat-alat musik lain, seperti
terompet, rebab, tehyan, bahkan biola. Penambahan ini untuk menggantikan
lagu-lagu “dikir”. Di samping untuk mengiringi nyanyian atau “dikir”,
rebana biang juga biasa digunakan untuk mengiringi tarian Blenggo atau
“Blenggo Rebana”. Sementara teater yang biasa diiringi dengan rebana
biang adalah Blantek.
Dahulu grup rebana biang banyak tersebar
seperti di Kalibata Tebet, Condet, Kampung Rambutan, Kalisari, Ciganjur,
Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok
Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede, dan
sebagainya. Yang kini masih bertahan grup rebana biang Pusaka pimpinan
Abdulrahman di Ciganjur. Namun personel grup ini sebagian besar sudah
tua. Sebelumnya ada kelomok rebana biang Kong Sa’anan yang sangat
terkenal di era 1950-an karena dipercaya memiliki “ronggeng gaib” yang
mampu menyedot dan menghipnotis penonton sehingga sukarela bertahan
sampai pagi.
Rebana Ketimpring
Sebutan
Rebana Ketimpring mungkin karena adanya tiga pasang “kerincingan”, yakni
semacam kercek yang dipasang pada badannya, yang terbuat dari kayu yang
menurut istilah setempat disebut “kelongkongan”. Tapi tidak semua
rebana berkerincingan disebut rebana ketimpring, ada pula yang bernama
rebana hadroh dan rebana burdah.
Rebana ketimpring jenis rebana
yang paling kecil. Garis tengahnya hanya berukuran 20 sampai 25 cm.
Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai
sebutan rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima
berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh
rebana tiga dan rebana empat. Rebana Ketimpring mempunyai dua fungsi:
sebagai Rebana Ngarak dan Rebana Maulid.
Rebana Ngarak
Sesuai
dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu
arak-arakan. Rebana ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin
laki-laki menuju ke rumah mempelai pengantin perempuan. Syair lagu
rebana ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab
maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi
mengarak itulah, rebana ngarak tidak statis di satu tempat saja.
Gaya
pukulan rebana ngarak biasanya disesuaikan dengan kesempatan. Misalnya
selama perjalanan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan
biasanya menggunakan pukulan “salamba”. Setelah berada di rumah
pengantin perempuan biasanya digunakan gaya “sadati”. Mungkin berasal
dari kata “syahadatain”, dua kalimat syahadat yang akan diucapkan oleh
pengantin laki-laki di hadapan penghulu.
Rebana ngarak saat ini
berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam
grup rebana ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat, seperti
dalam upacara ngarak pengantin. Grup rebana ngarak terdapat di berbagai
kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir,
Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol,
Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.
Rebana Maulid
Sesuai
namanya rebana ini berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi
Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syaikh
Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh
bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti Assalamualaika,
Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan
Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri.
Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi.
Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja.
Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan,
nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.
Pukulan rebana
maulid berbeda dengan pukulan rebana ngarak. Nama-nama pukulan rebana
maulid disebut pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang
harkat. Dahulu ada seniman rebana maulid yang gaya pukulannya khas.
Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan
memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya
disebut gaya Sa’dan.
Rebana Hadroh
Pada
umumnya ukuran Rebana Hadroh agak lebih besar dari rebana ketimpring.
Garis tengahnya rata-rata 30 cm. Rebana hadroh terdiri dari tiga jenis.
Pertama disebut Bawa, irama pukulannya cepat, dan berfungsi sebagai
komando. Kedua disebut Ganjil atau Seling dan berfungsi saling mengisi
dengan bawa. Ketiga disebut Gedug yang berfungsi sebagi bas. Karena itu
ada pula yang menyebutnya “rebana gedug”.
Cara memainkan rebana
hadroh bukan dipukul biasa tapi dipukul seperti memainkan gendang
sehingga terdengar agak melodius. Jenis pukulan rebana hadroh ada empat,
yaitu tepak, kentang, gedug, dan pentil. Keempat jenis pukulan itu
dilengkapi dengan naman-nama irama pukulan. Nama irama pukulan, antara
lain irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih
pendek, dan bima. Sementara lagu-lagu rebana hadroh diambil dari syair
Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan rebana
hadroh adalah Adu Zikir. Dalam adu zikir tampil dua grup yang silih
berganti membawakan syair Diiwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya grup
yang kurang hafal membawakan syair tersebut.
Rebana hadroh pernah
ada di kampung Grogol Utara, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Kalibata,
Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, dan Paseban. Salah seorang tokoh
rebana hadroh yang terkenal adalah Mudehir, seorang tuna netra. Mudehir
memiliki keterampilan teknis yang sempurna. Variasi pukulannya sangat
kaya. Bahkan dengan pukulan kakinya pun suara rebana masih sempurna.
Suaranya indah. Daya hafalnya atas syair Diiwan Hadroh sangat baik.
Konon kemampuannya memainkan rebana hadroh terinspirasi dari suara
pekerja pabrik batik yang mengecap kain dengan bertalu-talu. Mudehir
wafat pada 1960. Sepeninggal Mudehir rebana hadroh semakin surut. Kini
rebana hadroh tinggal kenangan.
Rebana Dor
Perbedaan
rebana ketimpring dengan Rebana Dor adalah pada rebana dor terdapat
lubang-lubang kecil pada “kelongkongnya” untuk tempat jari. Mungkin
untuk memudahkan atau agar lebih enak memegangnya. Cara memegang rebana
dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan
bebas memukul rebana. Rebana dor adalah rebana yang fleksibel. Rebana
dor dapat dimainkan bersama rebana ketimpring, rebana hadroh, bahkan
dengan orkes gambang.
Ciri khas rebana dor terletak pada irama
pukulan yang tetap sejak awal lagu sampai akhir. Ciri lain adalah lagu
Yaliil, yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil
mengikuti nada atau notasi lagu membaca Qur’an, antara lain Shika,
Hijaz, Nahawan, Rosta, dan lain-lain. Syair lagu rebana dor diambil dari
berbagai sumber, antara lain Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah,
Diiwan Hadroh, Addiibai. Sering pula dibawakan lagu-lagu dari penyanyi
Mesir terkenal seperti Ummi Kaltzoum. Karena itu pula rebana dor biasa
disebut “rebana lagu”.
Rebana dor lebih banyak persamaannya
dengan rebana kasidah. Perkembangan rebana kasidah sangat pesat sehingga
menggeser rebana dor. Lagi pula rebana kasidah lebih diminati remaja
putri. Rebana dor hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Rebana kasidah
lebih enak ditonton karena pemainnya remaja putri. Rebana dor didukung
pemain leki-laki yang sudah berusia lanjut. H. Naiman dari kampung
Grogol Utara, Arifin dari kampung Kramat Sentiong, dan H. Abdurrahman
dari kampung Klender adalah tokoh-tokoh rebana dor. Sayangnya ketiga
orang ini tidak mempunyai penerus. Akibatnya rebana dor tidak
berkembang.
Rebana Kasidah
Rebana Kasidah
termasuk yang paling populer. Setiap kampung terdapat grup rebana
kasidah. Rebana kasidah dianggap sebagai perkembanagan lebih lanjut dari
rebana dor. Sejak awal rebana kasidah sudah disenangi, khususnya oleh
remaja putri. Ini yang membuat pesatnya perkembangan rebana kasidah.
Tidak ada unsur ritual dalam penampilan rebana kasidah. Maka rebana
kasidah bebas bermain di mana saja dan dalam acapa apa saja. Lirik-lirik
yang dinyanyikan tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab,
melainkan yang berbahasa Indonesia.
Ada yang beranggapan
kepopuleran rebana kasidah karena ia lazim dimainkan oleh perempuan. Di
masa lalu hampir semua madrasah memiliki kelompok rebana kasidah. Bahkan
di era 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup
pemenang festival ditampilkan pada acara-acara penting. Ada pula grup
yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam pita kaset dan laris dijual.
Penyanyi rebana kasidah yang terkenal adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab,
Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, dan lain-lain.
Menurut catatan Lembaga Seni Qasidah DKI Jakarta pada 10 tahun lalu
jumlah ogranisasi rebana kasidah sekitar 600 kelompok
Rebana Maukhid
Ukuran
jenis rebana ini lebih besar dari rebana hadroh, sekitar 40 cm.
Munculnya jenis kesenian rebana maukhid tidak lepas dari nama Habib
Hussein Alhadad. Habib inilah yang mengembangkan rebana maukhid. Habib
Hussen mempelajari kesenian rebana dari Hadramaut. Rebana maukhid yang
asli hanya dua buah, tapi ia mengembangkannya menjadi empat sampai 16
buah. Profesi sehari-hari Habib Hussein adalah muballig. Untuk lebih
memeriahkan tablig setiap malam Jumat, Habib Hussein menyanyikan
shalawat diiringi rebana. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari
karya Abdullah Alhadad.
Rebana maukhid dapat dimainkan tanpa
terikat jumlah pemain, tergantung jumlah pemain dan tempat
pertunjukannya, sehingga bisa dimainkan oleh dua, tiga, empat, bahkan 16
orang. Keberadaan rebana maukhid bukan semata-mata untuk pertunjukan,
tapi sebagai pengis acara tablig. Tidak ada rancangan khusus berkenaan
dengan pementasan. Apalagi rencana pengembangan dan perluasan wilayah.
Rebana maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Kalaupun di daerah lain ada Rebana Maukhid, mungkin dilakukan oleh murid
Habib Hussein Alhadad.
Rebana Burdah
Garis
tengah Rebana Burdah lebih besar dari rebana maukhid, sekitar 50 cm.
Penamaan rebana burdah mungkin karena nama grupnya, yaitu “Burdah Fiqah
Ba’mar” yang dipimpin oleh Sayid Abdullah Ba’mar. Mungkin juga dinamakan
demikian karena biasa membawakan “qaida” (salah satu bentuk puisi Arab)
Alburda yang terdapat di kitab Majemuk atau Mawalid. Rebana jenis ini
hanya ada di Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dan
dikembangkan oleh Abdullah Ba’mar. Para pemainnya semula berasal dari
keluarga Ba’mar, Amzar, dan Kathum yang kesemuanya merupakan imigran
Arab asal Mesir.
Kehadiran Firqah Burdah Ba’mar awalnya untuk
mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian. Dengan
disajikannya rebana burdah, pengajian terasa lebih meriah dan tidak
membosankan. Karena main di forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan
diambil dari syair Al-Busyiri yang berisi puji-pujiab kepada Nabi
Muhammad. Pada umumnya lagu-lagu burdah berirama 4/4 dimainkan sambil
duduk bersila, sedangkan lagu-lagu yang berirama lebih cepat biasa
disebut “Fansub” dimainkan sambil berdiri.
7. Orkes Gambus
Orkes Gambus dahulu dikenal
dengan sebutan irama Padang Pasir. Pada tahun 1940-an orkes gambus
menjadi tontonan yang disenangi. Bagi orang Betawi, tanpa nanggap gambus
pada pesta perkawinan atau khitanan dan sebagainya terasa kurang
sempurna. Menurut Munif Bahasuan, orkes gambus sudah ada di Betawi sejak
awal abad ke-19. Saat itu banyak imigram dari Hadramaut (Yaman Selatan)
dan Gujarat datang ke Betawi. Jika walisongo menggunakan gamelan
sebagai sarana dakwah, imigram Hadramaut menggunakan gambus.
Peralatan
musik gambus bervariasi, tapi yang baku umumnya terdiri dari gambus,
biola, dumbuk, suling, organ atau akordion, dan marawis. Awalnya orkes
gambus membawakan lagu dengan syair bahasa Arab, seperti Lisaani
Bihamdillah, Yamalaakal Hub, Solla Rabbuna, Asyraqal Badrui dan Syarah
Dala. Kemudian gambus berkembang menjadin sarana hiburan. Ia juga biasa
digunakan untuk mengiringi tarian Japin yang biasa ditarikan oleh
laki-laki berpasangan.
Orkes gambus tidak bisa dipisahkan dari
Syaikh Albar dari Surabaya dan SM Alaydrus. Kedua orang ini merupakan
musisi gambus terkenal pada era 1940-an. SM Alaydrus berhasil
mengembangkan orkes harmonium yang pada erac1950 menjadi orkes Melayu.
Syech Albar mempertahankan tradisi gambus. Sampai 1940-an lagu gambus
masih berorientasi ke Yaman Selatan. Setelah bioskop Alhamra di Sawah
Besar banyak memutar film Mesir, lagu gambus berorientasi ke Mesir.
Sehingga nama Umi Kaltzoum, Abdul Wahab, dan Farid Alatras terkenal dan
lagu-lagunya ditiru.
Sampai era 1950-an orkes gambus makin
terkenal. Orkes gambus mengisi siaran di RRI tiap malam Jumat. Dua grup
yang selalu tampil di RRI adalah Orkes Gambus Al-Wardah pimpinan Muchtar
Lutfie dan Orkes Gambus Al-Wathan pimpinan Hasan Alaydrus. Pada era
1960-an orkes gambus mulai menurun pamornya. Politik Demokrasi Terpimpin
melarang kesenian yang berbau asing. Di era 1990-an orkes gambus mulai
bangkit kembali.di Indonesia. Malah sempat diadakan lokakarya musik
gambus pada 1997 meski hasilnya belum menggembirakan.
Tokoh musik
gambus di Jakarta yang cukup terkenal adalah Husnu Maad K.H. Zainal
Abidin Alhadad dan Zein Alhadad. Salah satu grup yang terkenal saat ini
adalah Arrominiah pimpinan H. Hendy Supandi
No comments:
Post a Comment